Where The Balance Is Key

Kamis, 03 September 2009

Diary tikus untuk kelinci

Ketika itu malam muncul dengan menghadirkan sejuta warna kerinduan. Di sudut pepohonan yang hampir tak ada daunnya, seekor tikus yang sedang termenung mengingat mengingat perjalanan cintanya yang tak begitu indah dengan seekor kelinci, ia berbicara sendiri dengan sehelai daun sembari menerawang ke masa lalu, mengingat segala apa yang pernah ia rasakan.

“Wahai kelinci, tubuhmu dipenuhi bulu-bulu yang halus dan putih, matamu indah karena kau sering memakan wortel, telingamu bagus, sebagai pemanis yang memang dasarnya kau manis, aku yang sering mengagumimu diam-diam, aku yang selalu iri dengan putih dan sempurnanya rupamu, kecerdikanmu, juga keanggunanmu, wajar sajalah jika aku sangat iri karena aku hanya seekor tikus yang biasa hidup di tempat-tempat kotor, selokan, gorong-gorong atau atap rumah yang berdebu dan bau. Aku adalah makhluk yang sering berlindung ditumpukan sampah-sampah karena takut dibunuh oleh manusia jahat, aku tak tahu apa salahku padahal sebagai makhluk ciptaan Tuhan akupun memiliki hak untuk hidup tapi yang pasti banyak manusia yang mengharapkan spesiesku punah, kami disamakan seperti hama atau lebih dari itu.

Beruntung kau tak memandangku seperti itu, meskipun aku kotor dan seram tapi aku juga memiliki hati yang sama seperti makhluk yang lain. Andai akubisa berbicara dengan manusia dengan bahasa mereka tentu aku akan menggugat mereka, membela kaumku tapi ya sudahlah, mungkin sudah takdirnya begini, aku hanya seekor tikus yang menjalani hidup sesuai jalan yang telah ditetapkan olehNya.

Kita jelas berbeda wahai kelinci kau memiliki keberuntungan yang jauh lebih baik kau disukai oleh manusia, kau lucu, imut dan menawan dan sebagian diantara jenismu yang terpelihara dengan baik, meskipun ukuran kita samam, jenis kita sama, yaitu hewan pengerat, tapi tentulah nasib kita berbeda. Masih tersimpan jelas dikepalaku dan otakku yang kecil ini, bagaimana saat kita bertemu, bagaimana pertama kali kau bicara denganku dengan bahasa yang lembut, bagaimana kau memandangku dengan mata yang sayu tapi mendayu. Kau adalah kelinci yang baik hati dan sederhana, dimulai dari situlah aku memiliki perasaan yang lebih untukmu, kau begitu mempesona bagi tikus-tikus jantan sepertiku.

Akupun masih ingat dulu kau pernah mengajariku cara merawat bulu-bulu kita agar tetap bersih, seperti menjaga hati agar tetap suci, menghilangkan noda-noda pada tubuh seperti menghilangkan sifat dendam dan iri dalam hati kita. Namun karena kau berteman denganku akhirnya kaupun kotor, sekotor diriku namun rupamu tak seseram diriku. Setelah mengenalmu dan seringnya kita bersama aku merasa hari-hari yang kita jalani adalah hari-hari terbaik sepanjang hidupku, karena kita selalu tertawa, gembira, merasa bahagia saat bersama.

Meskipun aku tak pernah menyuruhmu untuk menyerupai perangaiku, bersifat sepertiku, kau yang sendirinya menyesuaikan diri, mungkin karena kau tulus mencintaiku akhirnya kau memilih jalan sepertiku, kau rela berkotor-kotoran mencari sesuatu di comberan dan dijauhi kelinci-kelinci lain karena dekat denganku, bulu-bulu ditubuhmu tak seputih yang dulu tapi aku masih tetap mengagumimu bahkan lebih dari hari-hari yang pernah dilewati. Aneh memang ketika kita berikrar di perbatasan sore, berjanji akan selalu mencinta dan menjaga satu sama lain walalu kita adalah pasangan yang berbeda jenis. Tapi kita sepakat tak permasalahkan perbedaan itu.

Aku selalu yakinkanmu, kita bisa menyelesaikan segala rintangan yang mungkin datang meskipun aku ragu dan harus membohongimu, maaf kelinciku bukan maksudku mendustaimu namun kadang kau harus tegar dan dapat bertahan dalam gelombang, yakinlah dengan kata-kataku meski aku sendiri rapuh. Kau tak tahu kadang aku sangat menyesal tak bisa menjagamu agar kau tetap bersih. Kau selalu menjadi penyejuk disaat yang tepat, kau selalu menjadi pendamai disaat aku ketakutan menghadapi hidup, kau selalu ada, ya kau selalu ada bagiku.

Karena cintamu terlalu besar untukku kadang aku berpikir aku tak layak untukmu, aku hanya tikus lemah oleh godaan seperti kebanyakan tikus-tikus lainnya, namun akupun takkan sanggup menerima kenyataan kalau nantinya ada tikus yang lebih baik dariku yang dapat merebut hatimu. Sebagai tanda banggaku atas cintamu, aku tak pernah sesali keputusanku tuk lari dari komunitasku, merak menjauhiku karena memilihmu, aku akhirnya menjadi makhluk yang terasing, namun tak mengapa bagiku, sekalipun aku menjadi yang terbuang, aku yakin kau tak pernah tinggalkan aku sendirian, makhluk yang kontan lemah tak berdaya andai kau tak ada tuk temani hari-hariku, ya aku hanya dapat berharap semoga saja.

Aku yang keras, aku yang tak pernah merasakan bagaimana dicintai dengan tulus akhirnya dapat lulus oleh kasih sayangmu, aku yang tanpa sengaja mengeluarkan air mata saat hatimu sedih, meski tak tampak diwajahmu yang lugu, aku dapat merasakan kecemasan yang kau sendiri tak menyadarinya. Bahkan lebih dari semua cita-citaku, aku ingin sekali mengorbankan sesuatu yang ku anggap berharga dalam hidupku untukmu agar kau tahu aku sangat mencintaimu.

Aku ingin sekali melihatmu tersenyum sepanjang hari, aku ingin kelinci betinaku, kehadiranmu sungguh mengubah hidupku menjadi lebih bermakna, kau menjadikanku tikus paling bahagia di dunia karena memilikimu. Sampai pada akhirnya kaupun berniat pergi mencari makanan yang lebih baik jauh dari daerah dimana kita berada namun kau berjanji akan kembali, semula aku mendukungmu karena aku yakin kau tak akan apa-apa, kau bisa jaga dirimu dan kau akan kembali lagi untukku, itu yang kau janjikan padaku.

Aku yang sendirian di pondok hampa, dihibur oleh rindumu sesekali tertawa bila mengenangmu, aku sering ketempat dimana dulu kita sering berbicara dari hati ke hati, bercerita dan tertawa di malam yang selalu menjadi rumah kita. Aku mulai tenggelam oleh perasaan takut kehilanganmu setelah tiga purnama kau tak kunjung pulang atau memberiku kabar, aku sangat ingin tahu kabarmu dan menyuruhmu pulang namun kuurungkan niatku karena kutakut menemui kenyataan bahwa kau disana jauh lebih baik dan telah menghempasku di masa lalumu.

Akhirnya kuberanikan diri untuk menyusulmu di tempat kau mencari makanan, namun seperti dugaanku kau memang tampak lebih baik namun aku harus tahan tanganku dan beban rindu untuk memeluk tubuhmu karena kau tak senang dengan hadirku, jujur saja aku sangat senang ketika melihatmu baik-baik saja, namun tak ku tunjukkan itu, akhirnya kau menyuruhku pulang, aku pulang dengan hati hampa dan kecewa yang tak mungkin kau rasakan. Aku coba menghibur diri dengan menyalahkan diriku sendiri, kenapa aku tak percaya padamu, maafkan aku kelinci betinaku.

Aku masih menjalani hidupku meski tanpa hadirmu, namun memoriku tertinggal di akhir april sore yang begitu manis, aku selalu memegang apa yang pernah kuucapkan padamu. Meskipun kau tak pernah memintanya. Setiap harinya aku tak berhenti berharap dan berdoa kelinci betinaku pulang dan kami akan melanjutkan hari-hari yang sempat terlewati bersama dan untuk selamanya. Saat itu, di petang yang indah yang seharusnya setiap makhluk menyambut hari esok dengan suka cita dan kegembiraan, karena esok adalah hari “kemenangan” hari raya kaum kami.

Aku menemui sang bidadari hatiku, senang benar ketika ku lihat wajahmu lagi, namun sambutmu dingin, sedingin hawa yang kurasa saat itu, aku merasakan adanya perubahan dalam sikapmu namun aku tak tahu harus berbuat apa. Kutinggalkan kamu dalam kebisuan malam. Aku tak bermaksud menyakiti hatimu wahai kelinci betinaku, ketika ku memintamu tuk pulang ke hari-hari kita dan memilihku namun apa yang terucap dari bibirmu yang mungil tak pernah berada bahkan dalam mimpi terburukku sekalipun, kau pilih tinggalkanku demi makananmu, akupun tak berharap kau mengerti apa yang kurasa saat itu, aku coba bersikap berpura-pura tegar, tapi itulah pilihan yang memang harus kau ambil, aku menghargainya, akhirnya ku mengalah karena aku tak akan paksakan kehendakku.

Entah bagaimana cara meyakinkanmu, yang jelas meski hatiku hancur saat itu aku masih memikirkanmu, aku masih dan selalu peduli padamu. Lambat sang waktu mengantarkan kami ke hari-hari berikutnya, kau datang lagi ke tempat lama tempat kau menemuiku, disana kau berbicara banyak padaku, tentang penyesalan keputusan yang kau buat, tentang cinta yang kau penggal, aku tak kuasa melihatmu menangis, aku tak kuasa mendengar kau merintih lirih menyesali semuanya, sudahlah jangan menangis wahai kelinciku, aku telah memaafkanmu dari sebelum kau memintanya, dan kita akan dapat memulai kembali menjalani hari-hari yang sempat terlewati.

Namun di dalam hatimu pun sebenarnya tak ingin tinggalkan tempat kau mencari makanan, entah apa alasannya dan entah apa penyebabnya kau sangat sulit sekali lepas dari tempat itu, begitu berat kau memilih tinggalkan tempat itu, apakah ada sesuatu disana yang lebih besar dari cintaku? Padahal aku terus meyakinkanmu kau akan aman bila disisiku tak perlu lagi ada kecemasan dalam dirimu.

Sekilas aku melihat wajahmu seperti tertekan. Sampai kau berjanji lagi padaku akan pulang dan membawa hatimu seutuhnya untukku di penghujung tahun, ya kau berjanji akan menemuiku di penghujung tahun, aku senang kau kembali seperti dulu kala. Namun di penghujung tahun kau tak kunjung datang, dengan alasan kau tak bisa pulang, ada sesuatu hal yang memaksamu untuk tak bisa tinggalkan tempat itu. A

ku tahu itu bukanlah alasan yang tepat, karena ku tahu kau hanya sedikit mendustaiku dengan alasan semacam itu. Lalu di awal tahun yang semestinya menjadi awal nuansa baru, sekali lagi aku beranikan diri untuk menemuimu di tempat kau mencari makanan, meskipun kau telah melarangku. Entah kekuatan macam apa yang mendorongku supaya menunggumu dari petang hingga larut, namun akhirnya kau datang juga, tapi kau tak datang sendiri melainkan berdua dengan dia, yang mengaku kekasihmu.

Saat itu hatiku hancur, hatiku lemah, batinku menangis tanpa air mata, pikirku tega benar kau mengkhianati perasaanku, tega benar kau memperlakukan ku seperti itu, seperti lebih dari sampah jalanan. Namun biarpun kau perlakukanku sedemikian rupa, dibibirku tak kuasa dan tak tega untuk sekedar mengumpat atau mencacimu, lalu aku hanya berpesan pada kekasih barumu agar selalu menjagamu, jangan pernah menyia-nyiakanmu, lalu dengan senyum yang sedikit terpaksa ku katakan kau adalah wanita terbaik, beruntung bisa menjadi belahan hatinya. “ Jagalah dirimu baik-baik”.

Akhirnya ku pulang ke rumah dengan langkah seribu, namun tak ubahnya seperti prajurit yang pulang dengan tertatih akibat terluka dalam kekalahan berperangan. Detik-detik yang berlalu seperti sayatan pisau di hati, tak mungkin hilang begitu saja kata-katamu yang halus lembut menyejukkan batin, pelukan tanganmu yang tulus dan cintamu yang murni, aku ingin sekali tidur dan untuk selamanya tak terbangun lagi, aku ingin kembali ke rumah sang akhir april tempat dimana kita mengawali segalanya dengan semangat dan nama cinta.

Kini semua telah berakhir, masa lalu yang tak semestinya dikenang, lalu aku coba patahkan semangat tuk hidup bersamamu, aku coba pupuskan semua janjiku padamu, namun sekali lagi perasaan yang tulus memberiku kekuatan tuk menunggumu, memberikanku kesabaran yang tak terbatas. Dan dengan sedikit sisa-sisa harapan yang kupunya setiap malam kutitipkan asa bersama doa yang tanpa harus kau menggantinya, aku cukup senang melihatmu tersenyum meski kita tak lagi bersama, kurelakan dirimu untuknya, kuserahkan segalanya hanya pada Tuhan yang menciptakan cintaku, yang telah menghidupkanku, dan yang akan mematikanku, ya aku serahkan segalanya hanya padaNya.

Wahai kelinci betinaku dengarkanlah, maafkan aku jika terkadang aku sangat inginkan cintamu hadir lagi dikehidupanku, maafkan aku yang selalu berkhayal kau datang dengan cinta yang utuh memandangku dengan cara lama, memilikiku apa adanya seperti yang kau lihat sekarang. Betapapun rasa sakit dan kecewa menikamku, aku tak sanggup hilangkan cinta ini dalam sanubariku, kau tak perlu berdoa untukku supaya aku menemukan pengganti yang lebih baik darimu.

Tuhan memiliki rencana lain untukku, aku tak perlu khawatir dengan semua ini. Aku sadar dunia yang kusinggahi tak pernah menjanjikan akhir bahagia untuk setiap makhluk, namun akupun tak mengira jika akhir dari perjalanan hidupku harus seperti ini, berteman sepi dan terhibur oleh sunyi. Mungkin kalaupun rasa sakit ini dapat pulih, tapi tak ubahnya seperti penyakit yang terendap yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali jika ku memulai hal yang baru. Aku tahu, kadang cinta menghadirkan dualisme yang berbeda disaat yang bersamaan, aku dapat merasakan panas di tengah hujan, aku dapat merasakan campuran rasa sayang dan benci dalam secangkir cinta.

Terima kasih untuk cintamu yang manis, terima kasih mengajariku bahagia, menunjukkanku luka dan kecewa, itu ternyata ada. Pernah sesekali ku melihat pelangi di atas kepalamu, dan kulihat surga terbentang luas di jalanmu, namun itu hanya fatamorgana yang terbuat dari ilusi palsu. Kini puing-puing harapan masih aku bawa sampai aku pulang ke rumah kekal dengan membawa secarik kertas yang bertuliskan namamu dan kata yang pertama kali ku ucapkan ketika miliki dirimu di akhir april bahagia “Aku sayang kamu”.

“~~~*~~~”

“Jika cinta itu harus lenyap terdegradasi oleh waktu, kita akan tersadar terkadang sebuah ketulusan tak selamanya berbuah manis, namun tak akan kubiarkan pohon ketulusan itu layu dari taman hati, meskipun badai kecewa menghantamnya dan mencoba merobohkannya dan membuat pohon ketulusan itu takkan pernah berbuah lagi, cukuplah ia pernah memberiku rasa manis yang hanya dapat dirasa sekali dalam seumur hidupku, kadangkala cinta terdengar lebih manis dari kenyataannya.”

0 komentar:

Posting Komentar